Nama : Jesika
NPM : 13612929
Kelas : 3 SA03
SEJARAH JURNALISTIK DUNIA
Awal mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari
berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta
Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44
SM).
“Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah
dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik
pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun
disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan
tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas
peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan
tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu
merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang
dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”.
Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting,
serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu
ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum
Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah
muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan
tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para
tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata
jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian”
atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan
bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”.
Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang
(2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman
Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal
beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air
bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk
memantau keadaan air dan kemungkinan adanya
makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang
tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke
kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun
disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari
berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun
disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
MASA PERKEMBANGANNYA
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin
meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik
pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya
tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau”
atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo
mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin
cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada
1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya
pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali
diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi
Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang
bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik
Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini
ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto
menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap
hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665
M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London
Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia
telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu
persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah
“Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick
Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston
yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki
penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para
penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat
wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang
diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal
dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di
Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton
memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal
dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu
jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi
pemerintah dan masyarakat (to influence).
listik untuk pertama kali
dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 –
1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M.
Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism
di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama
Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat
politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya,
sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan
mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai
perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika
dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad
ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada
sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas:
independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan
lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah
jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor
berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk
didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita
pelopor yang masih beroperasi hingga kini ant
ara lain Associated
Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France
Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah
untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu
dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang
bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik.
Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak
bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya
memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa
pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian
memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah
memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para
wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi
wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh
wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme
pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian
melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat
dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Teknologi Informasi
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan
teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat
berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah
mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa
ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS
menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu.
Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum
banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Pada 1920-an, surat kabar dan
majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio
berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena
berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada
1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era
1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline
bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan
secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan
sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak
terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook
yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman
berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah
memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun. Selain itu,
pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan
media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak
hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga
dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk
juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi
menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau
elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating
datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi
internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang
juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini
adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.Memang tidak semua blog
berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan
jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah
menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan
sumber untuk berita.
SOURCE :
SEJARAH JURNALISTIK INDONESIA
Seiring era Reformasi yang dikumandangkan dari Sabang sampai
Merauke oleh para Reformis, menggantikan era totaliterisme Soeharto, maka dunia
jurnalisme kita mendapatkan angin segar dalam menyampaikan informasi kepada
khalayak umum tanpa takut adanya ancaman pembredelan.
Tak kurang dari 32 tahun dunia jurnalisme kita mandul dan
harus berfungsi sebagai corong pemerintahan Orde Baru yang jauh dari idealisme
pers sebagai kontrol sosial. Bahkan sejak akhir masa kekuasaan Soekarno (orde
lama), pun dunia jurnalisme kita telah diarahkan menjadi corong pemerintahan.
Di era orde lama, institusionalisme pers yang berkembang adalah bagaimana
sebuah lembaga penerbit pers dapat melibatkan diri dalam pertentangan antar
partai. Masing-masing media cetak berfungsi sebagai corong perjuangan
partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa partai seperti PNI mempunyai Suluh
Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU mempunyai Duta Masyarakat, PSI mempunyai
Pedoman dan PKI mempunyai Harian Rakyat. Jadi fungsi media di era Orde Lama tak
lain sebagai media perjuangan partainya masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan
penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU
Pers No 40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan
yang selama akhir masa Orde lama dan orde baru menjerat demokratisasi pers
kita. Tak lama kemudian dalam merayakan kemenangan sistem demokrasi muncul
berbagai macam ribuan media massa baik cetak maupun elektronik yang tak
terbendung lagi memberikan warna kebebasan dalam dunia jurnalisme kita.
Namun gagasan otonomi pers selama ini disalahtafsirkan
menjadi kebebasan pers yang tanpa batas etika. Bahkan hemat saya, kebebasan
pers di era Reformasi telah jauh meninggalkan kode etik jurnalistik dan lebih
liberal dari pers Amerika yang menganut paham leberalisme pers sekalipun. Hal
itu terlihat dari beberapa media pers kita yang menyebarkan berita mengarah ke
dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta mengabaikan nilai-nilai perjuangan
kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang pers secara
tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan berfungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional,
Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis,
Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan
Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa
pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang
dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah
satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah
satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah
fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara
Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar
Baroe (Semarang) (“PR”, 23 Agustus 2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada
akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan
Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai
dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat,
pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat
beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan
kiri seperti Patriot,
Buruh,
dan Suara
Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan
membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front
Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara
Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia,
terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang
bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru.
Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar.
Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan
pemberitaan sensasional semacam itu.
SOURCE :